Akhir-akhir ini aku menghabiskan waktu-ku diJogja untuk males-malesan sehabis kuliah. Alasanku males-malesan-pun dikarenakan tidak ada kerjaan. Sedankan tujuan awalku masuk Jogja adalah merubah diri, dari yang awalnya malas menjadi rajin membaca. Tetapi entah mengapa aku menjadi malas sehabis kuliah. Seakan-akan aku tidak ada gairah untuk masuk kuliah. Seperti aku kehilangan keinginan untuk mempelajari pelajaran yang berada di kuliah, aku lebih tertarik untuk mengikuti kegiatan di tempat kuliah, seperti: teater, atau musikalisasi puisi daripada mempelajari materi kuliah.Aku sering bertanya-tanya apakah aku saja yang merasakan hal yang sama? kutanyakan kepada temanku yang lain, dan ia menjawab dengan jawaban yang sama dengan kurasakan sekarang. Malas belajar. Untuk informasi, temanku ini anak teater, idenya cemerlang kalau soal masalah teater, tetapi kalau masalah belajar ia paling malas membahasnya. Sehingga aku setuju-setuju saja dengan pendapatnya dia.
Terkadang aku berfikir bahwa tempat kuliah itu akan membuat kreatifitas kita menjadi berkembang, tempat dimana kita menjadi kritis tentang masa depan kehidupan, tempat dimana mahasiswa bebas mengeluarkan pendapat dan unek-uneknya tetapi ternyata kurasa tidak. Sistem kuliah tetap sama dengan yang kurasakan sewaktu SMA, dimana nilai adalah penentu kelulusan. Siswa menjadi terpaksa untuk memenuhi nilai tersebut yang sebenarnya bukanlah pelajaran yang ia inginkan. Otaknya di paksa lagi mempelajari pelajaran yang ia tidak suka, ia terpaksa kembali memperbodoh dirinya dengan mempelajari pelajaran yang ia tidak inginkan untuk dipelajari.
Dan inilah pangkal kebodohan di sistem pendidikan kita. Kurikulum kita mengharapkan siswanya untuk bisa segala-galanya sebelum menjadi ahli. Siswa terpaksa harus mempelajari semua dasar sebelum di juruskan ke salah satu pelajaran yang ia miliki. Dan parahnya kalau kita tidak memenuhi syarat nilai yang telah ditetapkan kita akan dianggap bodoh dan mendapat nilai c. Semangat siswa menjadi down, dan jika terus dilanjutkan, mahasiswa jadinya lebih mementingkan nilai di tempat kuliah daripada kata hatinya. Jiwa mahasiswa menjadi tumpul terhadap fenomena sosial dan pemikiran kritisnya hanya berada dalam ruang lingkup pelajaran saja, tidak dalam ruang lingkup masyarakat yang luas. Siswa semakin kehilangan jati dirinya sebagai agent of change dan menjadi malas seperti yang saya rasakan.
Terkadang ada beberapa dosen yang menyadari semua ini, ia memberikan kebebasan kepada mahasiswanya untuk bebas dan membiarkan mereka gagal. Gagal dalam artian berani untuk mencoba. Beberapa dosen mengetahui kelemahan terbesar dari pendidikan kita, dan ia menginspirasi mahasiswanya untuk terus mengembangkan potensi terbesar dalam dirinya. Tetapi untuk apa itu semua? Mereka malah dicemooh oleh mahasiswa karena terlalu ribet dan aneh. Beberapa usaha dari dosen itu memang berhasil menginspirasi mahasiswa untuk kreatif dan berfikir kritis terhadap fenomena sosial. Tetapi apa gunanya kalau besoknya kita masuk kekelas yang kaku kembali? apa gunanya kalau kita diinspirasi kalau kita dipenjara kembali kedalam sistem pendidikan yang kaku?
Mungkin aku merasa inilah pangkal mengapa kebudayaan kita lebih gampang jatuh ke luar negeri daripada anak muda kita. Alasannya ya karena memang sistem pendidikan kita yang terlalu mengekang kreatifitas mahasiswanya dan terlalu mengarah kepada hasil sehingga mahasiswa menjadi bodoh dalam pemahaman sosial dan permasalahan negeri kita. Mahasiswa juga menjadi posesif terhadap budaya negerinya sendiri dan menganggap budaya luar lebih bagus. Dan lebih parahnya, orang yang memimpin disana tidak peduli, mereka lebih memperdulikan keuntungan yang bisa dihasilkan dari investor daripada yang bisa dihasilkan oleh anak bangsanya sendiri. Mantap kan? bagaimana tidak down anak bangsa kita? Kita mengharapkan budaya kita lestari, tetapi sistem pendidikan kita malah membuat siswanya tumpul dalam berfikir kritis?
Aku bermimpi sebuah pendidikan dimana pendidikan itu hanya mendahulukan guru dan muridnya saja, bukan instansi pendidikan, keuntungan pemerintah. Yang ada hanya siswa yang bebas dan kreatif dan guru siap menerima segala pemikirannya dengan lugas. Tidak ada nilai, tidak ada lagi yang namanya siswa bodoh dan pintar. Pemerintah-pun tidak melebihkan instansi pendidikan apapun, sehingga pendidikan bisa menjadi gratis dan merata. Tetapi ya beginilah keadaan negeri kita. Zaman telah berubah, mahasiswa sekarang lebih malas dan menganggap nilai yang terpenting. Beberapa ada yang sadar dan mau menyiksa dirinya, mau dicampahkan teman-temannya, mau melawan arus zaman yang keras cuma demi mengikuti kata hatinya yang terdalam. Nilai tidak menentukan nasibmu kedepan, itu kata mas Deddy Corbuzier. Aku setuju dengannya, walaupun sedikit mengalami pertentangan dalam hatiku..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar